Sunday, November 07, 2010

Day 9

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005, Tentang Guru dan Dosen telah berjalan 5 tahun. Semangat UU ini yang mengakui Guru dan Dosen sebagai Profesi sangat jelas sekali. Secara jelas tergambar misi dari UU ini adalah:
1. Mengangkat martabat guru dan dosen,
2. Menjamin hak dan kewajiban guru dan dosen,
3. Meningkatkan kompetensi guru dan dosen,
4. Memajukan profesi dan karir guru dan dosen,
5. Meningkatkan mutu pembelajaran,
6. Meningkatan mutu pendidikan nasional,
7. Mengurangi kesenjangan ketersediaan guru dan dosen antar daerah, baik dari segi jumlah, mutu, kualifikasi akademik maupun kompetensinya,
8. Mengurangi kesenjangan mutu pendidikan antar daerah, dan
9. Meningkatkan pelayanan pendidikan yang bermutu.

Berdasarkan tujuan dan misi diatas, kedudukan guru sebagai tenaga profesional berfungsi untuk meningkatkan martabat guru serta perannya sebagai agen pembelajaran untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Sejalan dengan fungsi tersebut, kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berlimu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.

Penjelasan ini dapat dibaca lebih lanjut pada Penjelasan UU ini. Nah, kalau kita cermati, sudah jelas tergambar hal-hal penting yang harus menjadi perhatian para guru.

Klo kita lihat jumlah guru di Kotabaru berdasarkan NUPTK yang dapat diakses di http://nuptk.kemdiknas.go.id/content.php?pageid=2. maka jumlah guru di Kotabaru sekarang berjumlah 3670 orang. Sesuai UU guru dan dosen, persyaratan kualifikasi akademis seseorang untuk menjadi guru adalah minimal mempunyai kualifikasi S1/DIV. Sejauh ini, hampir separuh guru di Kotabaru yang belum memenuhi standar kualifikasi tersebut. Untuk daerah kota, mungkin tinggal sedikit, akan tetapi kalau yang bertugas di luar kota, dalam hal ini luar Pulau Laut Utara, masih sangat banyak sekali, khususnya guru yang bertugas di Sekolah Dasar. Hal ini terjadi disebabkan oleh banyak faktor, utamanya, mereka yang belum S1/DIV adalah guru senior, minimal sudah mempunyai masa kerja 20 tahun, yang pada saat itu, pengangkatan guru SD masih diperbolehkan dari Sekolah Pendidikan Guru (SPG). Nah, karena mereka ditempatkan di remote area, maka sangat kecil kemungkinan bagi mereka untuk dapat melanjutkan studinya ke jenjang S1/DIV. Hambatan mereka terutama pada lokasi Perguruan Tinggi yang sangat jauh, misalkan Unlam di Banjarmasin. Bila melalui jalur UPBJJ-UT pun harus ke Kotabaru. Sangat jauh. Dapat kita perkirakan kesulitan yang mereka hadapi, ambilah kasus bila mereka yang bertempat tinggal di wilayah Pulau Laut Selatan melanjutkan studi melalui UPBJJ-UT di Kotabaru. Biaya perkuliahan yang cukup murah akan sangat tidak sesuai dengan kegiatan tutorial yang harus mereka ikuti, yang biasanya 2 minggu sekali. Selain itu biaya-biaya tutorialpun yang tidak sedikit harus mereka tanggung.

Untuk menempuh perjalanan ke Kotabaru saja mereka sudah sulit, belum mereka harus belajar dari modul-modul dan menyelesaikan tugas-tugas rumah. Sangat menyiksa dan menyulitkan. Itulah realita di kotabaru.

Ketika sertifikasi guru dilaksanakan, maka meledaklah permasalahan standar kualifikasi ini. Persyaratan peserta yang minimal mempunyai kualifikasi pendidikan S1/DIV telah menimbulkan gejolak terhadap guru-guru senior tadi yang nota bene belum berkualifikasi S1/DIV. Maka, berlomba-lombalah mereka mencari perguruan tinggi untuk mendapatkan gelar S1/DIV agar dapat mengikuti sertifikasi guru.

Apapun semangatnya, sertifikasi guru ini telah memberi dampak yang positif kepada guru. Setiap tahunnya, jumlah guru yang mengurus surat ijin belajar meningkat tajam. Baik yang belajar di perguruan tinggi di UPBJJ-UT di Kotabaru, Unlam di Banjarmasin ataupun perguruan tinggi di luar Kalimantan Selatan. Untuk sebagian guru yang berdomisili di daerah yang remote, ataupun yang ingin mendapatkan gelar dengan cara instant juga tersedia fasilitas itu. Sejunlah kelas jauh dari perguruan tinggi di jawa bertebaran di Kotabaru. Umumnya cukup mengikuti perkuliahan beberapa kali atau bahkan diwakili saja, maka gelar S1/DIV sudah dapat diterima. Tentu konsekuensi logis dari semua ini adalah sejumlah uang yang harus mereka bayar.

Seringkali ketika saya meneliti persyaratan para peserta sertifikasi guru saya menemukan pemakaian gelar yang didapat dari kulaih kelas jauh ini. Ada dua orang yang pernah saya tanyakan proses mereka mendapatkan gelar ini. Semua sama. Hm.. andaikata murid-murid kita juga tidak perlu masuk sekolah setiap hari dan para guru juga tidak perlu mengajar setiap hari, sama seperti mereka mendapatkan gelar mereka, sepertinya asik banget tuh....

Untuk mereka yang melanjutkan studi ke beberapa perguruan tinggi yang menjadi mitra pemerintah, maka pemerintah telah memberikan bantuan berupa beasiswa untuk pembayaran SPP setiap tahunnya. Selain itu, juga telah diberikan biaya trasportasi kepada mereka yang melanutkan studi dengan pembiayaan dari Dinas Pendidikan Propkalsel di Unlam Banjarmasin.

Pertanyaannya, mengapa pemerintah tidak memberikan bantuan kepada guru-guru yang melanjutkan pendidikan secara instant seperti penjelasan di atas? Apa bedanya dengan yang melanjutkan ke perguruan tinggi yang menjadi mitra pemerintah? Toh, mereka sama-sama akan menyandang gelar S1/DIV. Apakah secara kualitas mereka berbeda? Au ah... gelap.

EOF hari 9.

No comments:

Post a Comment

Be a good person, please!!